English

Kelas-kelas sosial yang manakah akan mendukung perjuangan untuk demokrasi di Indonesia?

Pelajaran-pelajaran dari sejarah

Also in English and German

Dengan menghebatnya krisis politis di Indonesia dan siasat-siasat oleh rejim Suharto untuk tetap memegang kekuasaan, adalah sangat penting bagi gerakan massa mahasiswa dan para buruh untuk tidak jatuh ke dalam khayalan bahwa perubahan kosmetik terhadap susunan pemerintahan akan memberikan demokrasi yang sejati dan pembaharuan sosial.

Sistem pemerintahan Suharto yang berdarah itu bukanlah sebuah penyimpangan atau hanya pencerminan dari kecenderungan untuk kelaliman dari seorang pemerintah saja. Ketatnya pegangan Suharto pada kekuasaannya telah menunjukkan kepentingan dari kedudukannya di dalam susunan pemerintahan burjuis secara keseluruhan di Indonesia. Dalam sosok yang digambarkan sebagai penjahat, dari orang kuat militer ini, terkandung pergejolakan yang tajam diantara hubungan dari burjuis nasional kepada massa buruh dan petani yang tertindas.

Dengan kenyataan bahwa Suharto telah memerintah dengan menggunakan tangan besi selama lebih dari tiga abad, dan tidak ada seorangpun yang dapat dipercayai dari golongan atas yang menentangnya, merupakan bukti atas kebangkrutan sejarah bagi seluruh kaum burjuis di dalam negara ini. Ketakutan yang organik dari burjuis oposisi masa kini, yang telah menuntut untuk menjadi perwakilan dari perjuangan untuk demokrasi, telah digaris-bawahi dengan pengumuman pada saat-saat terakhir oleh salah satu dari ketua perwakilan itu, Amien Rais, untuk membatalkan protes massa yang akan berjalan pada hari Rabu, 20 Mei di Jakarta dan kota-kota besar yang lainnya.

Pengunduran Rais telah menunjukkan ketakutan bersama yang dihadapi baik oleh antek-antek Suharto maupun lawan-lawannya yang setengah resmi, seperti Rais dan Megawati Sukarnoputri, akan kemampuan dari pergerakan pelajar dan mahasiswa untuk menjadi kebangkitan dari kaum buruh dan massa yang miskin, yang dapat mengancam seluruh susunan dari golongan yang mempunyai hak-hak istimewa itu dan kelanjutan dari penindasan rakyat.

Sikap yang setengah hati dan tidak setia dari burjuis oposisi ini akan membuka gerakan para pelajar dan mahasiswa kepada bahaya besar, termasuk pembaharuan dari penindasan militer yang brutal, yang merupakan dasar cara bekerja dari rejim itu sejak permulaan.

Pada waktu yang sama, unsur-unsur seperti Rais, di dukung oleh bagian-bagian dari pers dan lembaga-lembaga politik di negara barat, memajukan pengertian bahwa semua politis dan sosial kebusukan yang menyebabkan bencana di Indonesia adalah dikandung dalam seorang Suharto, dan hanya dengan pemindahannya, yang mungkin akan terjadi, dapat memberikan sebuah kemenangan untuk demokratis reformasi.

Sebuah pandangan yang naïve dan dangkal itu, akan memuaskan kebutuhan politis tertentu.Jika perhatian masyarakat hanya akan terpusatkan kepada nasib diri Suharto saja, masalah-masalah yang sesungguhnya, yang menjadi dasar dari perjuangan melawan rejim itu akan menjadi gelap, dan itu akan membantu usaha-usaha dari bank-bank internasional, kekuasaan imperialis dan pemerintahan-pemerintahan setempat untuk membentuk, jika perlu, sebuah rejim yang baru, yang lebih diperlengkapi untuk menyelesaikan krisis ini dengan biaya yang akan diletakkan di atas punggung para buruh, petani-petani dan para pemuda yang melakukan perlawanan.

Dengan kenyataan bahwa kenangan bersama dari massa buruh tentang pelajaran-pelajaran pahit dari sejarah, yang di atas semua itu adalah peristiwa koup di tahun 1965, yang membuat krisis pada saat ini hanya kelihatan suram, hal itu secara luas telah merupakan ukuran dari warisan pembunuhan massal yang telah mengantar kenaikan Suharto kejabatannya. Di dalam sebuah pembunuhan berdarah yang menuntut kira-kira dari lima ratus ribu sampai satu juta jiwa rakyat Indonesia, kaum militer bekerja sama dengan Amerika Serikat CIA, dan mempergunakan kerja sama dari Sukarno, pemimpin nasionalis yang terpecat itu, telah memusnakan gerakan-gerakan para buruh dan seluruh unsur-unsur sosialis di dalam golongan cendekiawan.

Kesalahan politik apakah, yang telah mengantarkan kekalahan yang tragic itu ? Kesalahan itu adalah khayalan-khalayan, yang dikemukakan oleh pimpinan Partai Komunis Indonesia yang mendukung (pro) Chinese Stalinist, bahwa para buruh dan petani-petani yang tertindas dapat meletakkan kepercayaan mereka kepada sebuah bagian di dalam kaum burjuis di Indonesia, termasuk sebuah bagian dari kaum militer yang digolongkan sebagai "pembawa kemajuan," "demokratis" dan "pencinta tanah air."

Dengan usaha-usaha pada saat ini, untuk membangun sosok tokoh seperti Rais, seseorang yang menyatakan dukungannya kepada Dana Moneter Internasional (IMF) dan "reformasi" agendanya, dan juga kaki tangan militer seperti Jen. Wiranto komandan dari ABRI, sebuah perangkap yang baru sedang dipersiapkan untuk rakyat Indonesia yang tanpa dapat dielakkan lagi akan mengantarkan sebuah penyelesaian yang berdarah untuk oposisi massa.

Jika pelajaran-pelajaran tertentu didalam sejarah abad ke dua puluh tidak dimengerti secara mendalam maka aspirasi demokrasi rakyat akan dapat dikhianati lagi dengan kejam. Pengalaman-pengalaman dari abad ini telah berkali-kali menunjukkan bahwa negara-negara dengan pembangunan kapitalis yang terlambat, seperti Indonesia, tidak akan dapat mengatasi masalah-masalah kemiskinan sosial dan pemerintahan yang lalim dari sistem kapitalisme.

Di dalam klasik revolusi demokratis dari Eropa Barat dan Amerika Utara, yang terbentang dari abad ke 17 sampai abad ke 19, kebangkitan kaum burjuis dapat menggerakkan rakyat yang tertindas di atas nama seluruh negara untuk melawan bangsawan feodal kuno dan penguasa-penguasa kolonial. Tetapi di negara-negara itu (negara-negara dengan pembangunan kapitalis yang terlambat), yang mana timbulnya kaum kapitalis yang baru, yang harus menghadapi pasaran dunia yang sudah dikuasai terlebih dahulu oleh penguasa-penguasa kapitalis yang lebih dahulu, dan kaum buruh pribumi yang mana kekuasaan sosial dan organisasi politik menandingi malah mungkin melebihi perkembangan mereka sendiri, maka kaum burjuis merasa adanya kepentingan untuk membatasi atau mengugurkan cara pemerintahan yang demokratis untuk menyokong cara-cara militer atau fasis. Seperti yang terjadi di Itali, Jerman, Spanyol dan Jepang di masa inter-war dari tahun 1920 dan 1930.

Sedangkan untuk masa setelah perang dunia kedua, tidak ada satupun dari Afrika dan Asia yang sebelumnya merupakan negara koloni, yang telah berubah sepanjang garis-garis demokrasi yang sejati. Begitu pula di India, yang sering dihubungkan dengan demokrasi terbesar di dunia, warisan dari hubungan-hubungan feodal dan penindasan kasta tetap berlangsung sebagai bagian kehidupan yang tidak akan berubah, sedangkan kekuasaan politik dengan teguh tetap ditangan golongan atas yang sedikit jumlahnya dan korup.

Indonesia tidak ada perkecualiannya. Dengan berdasarkan dari penguasaan fasilitas-fasilitas produksi secara pribadi oleh sejumlah kecil konglomerat-konglomerat kapitalis dan pendirian kekuasaan imperialis di Asia Timur, tidak mempunyai harapan yang serius untuk berkembangnya demokrasi yang sebenarnya. Hal ini sudah ditentukan oleh tabiat dari hubungan-hubungan diantara kelas-kelas di negara itu.

Pada satu sisi, adanya kaum buruh yang besar dan kaum tani yang menjadi miskin, dan pada sisi lainnya, kaum penindas burjuis yang sangat sedikit jumlahnya, yang kekayaannya bergantung kepada dukungan yang diberikan oleh lembaga-lembaga keuangan imperialis, yang mana dia bekerja sama untuk merampok ekonomi yang sebagai kembalinya adalah pembagian dari hasil perampasan kekayaan itu. Kaum cendekiawan - yang secara turun menurun merupakan sebuah dasar yang penting kepada dukungan sosial untuk demokrasi parlemen -- tetap berjumlah kecil dan sangat lemah.

Lebih dari itu, di Indonesia, seperti negara-negara lain yang mempunyai perkembangan kapitalis yang terlambat, kaum burjuis nasional mereka tidak mempunyai kemampuan untuk menggerakkan rakyat dalam melawan kekuasaan imperialis. Pada satu sisi kaum itu terikat dengan ribuan benang kepada keuangan internasional dan korporasi-korporasi transnasional, dan, di tangan lainnya, kaum itu sudah mengatahui bahwa kaum buruh di tanah air merupakan bahaya yang lebih besar terhadap kekayaan dan kekuasaan politiknya. Di dalam setiap pergerakkan massa yang tertindas untuk melawan kekuasaan asing ancaman maut dari revolusi social akan selalu timbul.

Oleh karena itu bukanlah semata-mata hanya kecelakaan bahwa setiap perwakilan yang datang dari opposisi burjuis pada masa sekarang ini telah bercampur tangannya dalam kejahatan yang dilakukan oleh rejim Suharto. Hal ini termasuk, tidak hanya penindasan yang keras terhadap hak-hak demokrasi rakyat di Indonesia, tetapi juga pembunuhan massal yang dilaksanakan untuk menindas rakyat di Timor Timur.

Apakah tujuan yang sebenarnya dari, yang sering disebutkan sebagai reformasi demokrasi, yang diusulkan oleh pemimpin-pemimpin seperti Clinton dan elemen-elemen di dalam pemerintahan Indonesia? Pertama, untuk mengawetkan kekuasaan militer. Oleh karena itu usaha untuk menggambarkan Wiranto, yang mana seperti setiap komandan militer lainnya telah menodai tangannya dengan darah dari ribuan jiwa dari rakyat Indonesia sebagai seorang demokrat sangat dibutuhkan. Kedua, untuk memelihara kekuasaan politik dan kepentingan-kepentingan ekonomi dari kaum burjuis di Indonesia. Ketiga, dan yang paling diwajibkan, adalah untuk mengamankan kepentingan-kepentingan dan pembayaran untuk pinjaman-pinjaman kepada bank-bank imperialis.

Kemudian jalan kemajuan apakah yang harus ditempuh didalam perjuangan untuk demokrasi yang sejati? Hal yang pertama-tama harus ditekankan adalah, bahwa pencapaian demokrasi politik tidak dapat dipisahkan dari keputusan untuk mencapai kemajuan dari hal-hal sosial yang dihadapi oleh rakyat, yaitu pelaksanaan daripada program untuk menghapuskan penganguran, kemiskinan dan penindasan. Susunan ekonomi secara keseluruhan atau hak-hak istemewa dan ketidak persamaan harus digantikan dengan sebuah sistem yang bijaksana, kemanusiaan dan demokratis.

Sumber-sumber alam milik negara yang banyak -- dan juga dari seluruh daerah -- harus ditempatkan dalam jangkauan dan di bawah kontrol para buruh, dan bukan ditangan golongan atas yang korup dan mempunyai hak-hak istemewa itu. Langkah pertama adalah menyita seluruh saham-saham yang dimiliki oleh Suharto sekeluarga dan antek-anteknya, kemudian merubah semua itu menjadi perusahaan umum yang dijalankan oleh dan untuk para buruh.

Kedua, ketaklukkan oleh rakyat Indonesia kepada bank-bank imperialis harus diakhiri. Langkah yang pertama dalam hal ini adalah penolakan atas pinjaman-pinjaman nasional.

Yang terakhir, perjuangan untuk demokrasi, persamaan (equality) sosial dan pemberhentian penindasan oleh imperialis harus dilakukan tidak hanya dalam tingkat nasional saja, tetapi harus dilakukan oleh para buruh di Indonesia dengan mendirikan persatuan yang sangat kuat dalam perjuangan yang sama dengan saudara-saudara mereka di India, Korea, Taiwan, Cina Jepang dan di seluruh negara-negara Asia.

Satu-satunya kekuatan sosial yang dapat memimpin perjuangan itu adalah kaum buruh. Kekuatan sosial dan kemajuan yang sejati inilah yang harus di dukung oleh para pelajar dan mahasiswa. Kunci dari perjuangan untuk demokrasi itu adalah politikal pergerakkan oleh kaum buruh yang berdiri sendiri untuk mendirikan pemerintahan yang dipimpin oleh kaum buruh. Kaum buruh harus memulai pembangunan institusi-institusi politis demokratis milik mereka sendiri, dimulai dari pabrik-pabrik dan lapangan-lapangan pekerjaan dan menuju pada pendirian dewan-dewan buruh untuk program sosialis dan kekuatan untuk para buruh (workers' power).

This statement is available as a formatted PDF file to download and distribute
To read PDF files you will require Adobe Acrobat Reader software (Download Acrobat Reader)

See Also:
Dengan mendalamnya krisis Suharto:
Masalah-masalah yang mendesak sedang dihadapi oleh rakyat Indonesia
[16 May 1998]
Surat Untuk Para Pelajar dan Guru Indonesia
[18 May 1998]