Bahasa Indonesia

KTT Pangan 2002, berakhir dengan kegagalan

Awal minggu pertama Juni 2002, KTT Pangan 2002 yang diselenggarakan oleh Food and Agricultural Organization (FAO), di bawah naungan PBB, di Italia, berakhir dengan kegagalan, setelah pada hakikinya diboikot oleh negara-negara maju dari Amerika Utara dan Uni Eropa.

Menurut FAO, diperkirakan 815 juta penduduk di dunia menghadapi kelaparan dan kekurangan pangan kronis. Di antaranya, 777 juta penduduk bermukim pada apa yang disebut sebagai negara berkembang. Satu manusia meninggal setiap empat detik sebagai akibat langsung ataupun tidak langsung dari kekurangan panagan. Limapuluh lima persen dari 12 juta anak-anak yang meninggal setiap tahun diakibatkan oleh kekurang pangan.

Dalam lingkup kelaparan kronis di dunia, (bayangan) pencerminan akan kekurangan pangan masal di daerah Sahara Afrika, di mana 12.8 juta orang di enam negara menghadapi risiko kematian dari kekurangan pangan karena busung-lapar, kekeringan dan kebanjiran. Terdapatnya konsentrasi jutaan penderita AIDS di daerah perdalaman negara-negara tersebut mengganggu pertanian dan memperburuk kekurangan pangan.

Dihadapi dengan malapetaka kemanusiaan ini, sedihnya, satu-satunya pimpinan dunia Barat yang hadir pada KTT Pangan di Roma hanyalah Perdana Menteri negara tersebut, Silvio Berlusconi, dan Jose Maria Aznar dari Spanyol, negara yang pada saat ini mendapat giliran memegang kepresidenan dari Uni Eropa. Walaupun 181 negara menghadirinya, 74 oleh pimpinan negara ataupun pemerintahan, hanyalah Berlusconi dan Aznar yang mewakili kehadiran dari negara-negara maju dunia.

Amerika Serikat dan para anggota lain dari Organization of Economic Cooperation and Development (OECD), termasuk Jerman, Prancis, Denmark dan Kanada, diwakili di Roma hanyalah oleh para menteri pertanian mereka. Inggris malahan lebih congkak, hanya mengutuskan seorang menteri muda bukannya anggota kabinet yang bertanggung jawab atas Departemen Lingkungan, Pangan dan Urusan Daerah. Kenyataan pemboikotan ini tampak lebih jelas dengan kehadiran para pimpinan tingkat tinggi dari pemerintahan yang sama pada pertemuan NATO, yang juga diselenggarakan di Roma dua minggu sebelumnya.

Penolakan telak oleh para negara maju akan pertemuan FAO ini, menunjukkan ketidak-sukaan negara maju terhadap permohonan peningkatan bantuan pertanian dan pangan dari negara-negara Barat. FAO telah menyatakan bahwa penambahan bantuan sebesar US$24 milyard dibutuhkan untuk memerangi kelaparan dan kekurangan pangan. Direktur Jendral FAO Jacques Diouf, menunjuk kepada mereka yang tidak hadir, dan menyatakan, “Kami mendapatkan suatu indikasi jelas akan prioritas politik yang diberikan terhadap tragedi kelaparan ini.”

Dengan tidak hadir di Roma, pimpinan puncak Amerika Serikat dapat menghindari kritikan terhadap Undang-undang Pertanian yang baru disahkan oleh Washington,yang meningkatkan subsidi agribisnis sebesar US$18 milyard pertahunnya untuk para petani Amerika Serikat selama kurun waktu sepuluh tahun kedepan. Sambil mempromosikan “perdagangan bebas”, pemerintah Amerika Serikat memberi diri mereka sendiri hak kebebasan untuk melakukan “dumping” hasil pertanian Amerika Serikat di negara-negara termiskin di dunia, meniadakan kesempatan kehidupan akan puluhan bahkan ratusan juta orang di Afrika dan negara-negara lain di dunia.

Pertemuan KTT Pangan FAO yang terakhir diselenggarakan pada tahun 1996, dan diakhiri dengan suatu pernyataan untuk menyeparuhi kelaparan di dunia pada tahun 2015. Kini, sepertiga jalan menuju tahun 2015, angka-angka resmi menunjukan hampir tidak ada kemajuan yang telah tercapai.

Beberapa pejabat menyatakan bahwa dengan tercatatnya penurunan jumlah manusia yang menderita kekurangan pangan dan kelaparan sebesar enam juta jiwa pertahun dalam enam tahun yang lalu, mencerminkan suatu kemajuan. Angka ini harus meningkat ke 22 juta jiwa pertahun, bila target tujuan awal FAO akan terpenuhi. Dengan keadaan seperti kini, pada tahun 2015, 122 juta manusia akan meninggal dari kelaparan dan penyakit-penyakit yang berhubungan dengannya.

Walaupun dengan penerimaan penurunan yang kecil dari angka jumlah manusia yang tergolong kelaparan, sebagian besar dari penurunan itu terjadi di Cina, di mana pertumbuhan ekonomi yang cepat, telah mengurangi angka kelaparan sebanyak 76 juta jiwa. Pada sebagian besar dunia, termasuk lebih dari dua pertiga dari negara Dunia Ketiga, data FAO menunjukan akan peningkatan dari kelaparan dalam dekade terakhir.

Kekurangan pangan telah meningkat di Congo, India, Tanzania, Korea Utara, Bangladesh, Afghanistan, Venezuela, Kenya dan Iraq. Bila Cina tidak diperhitungkan, kekurangan pangan di dunia telah meningkat semenjak 1996.

Keadaannya lebih parah di negara-negara seperti Malawi, Swaziland, Zambia, Zimbabwe dan Lesotho, di mana kelaparan bagi jutaan manusia adalah sebuah kepastian. Di Zambia, contohnya, ada sekitar 2,3 juta manusia yang membutuhkan bantuan pangan antara kini sampai dengan Maret 2003. Sebuah laporan FAO menyatakan “sudah tampak semua dasar tanda-tanda tekanan sosial” di negara ini. “Para penduduk mengambil langkah-langkah drastis, termasuk memakan makanan liar yang berpotensi beracun, mencuri hasil panen dan pelacuran, untuk dapat memenuhi kebutuhan pangan keluarganya.”

Infeksi HIV di Afrika merupakan ancaman ganda. Dengan tingkat penularan mencapai 20-30 persen pada sebagian besar negara-negara di Afrika, tingkat yang tertinggi di dunia, jutaan manusia menjadi lemah karena penyakit pada saat persedian pangan menurun. Angka kematian sudah jauh lebih tinggi dari yang diperkirakan disebabkan oleh penyakit AIDS. 

Di Lesotho, persentase penularan HIV adalah sekitar 26.5 persen, dan 35 persen dalam populasi orang dewasa. Di Malawi, lebih dari 70 persen penduduknya tidak dapat memperoleh cukup pangan. Di Mozambik, terjadi badai banjir ditahun 2000 dan 2001 diikuti dengan kemarau panjang di tahun 2002.

Kekejaman boikot negara-negara Barat pada penderitaan ini menunjukan adanya suatu perubahan sikap pandangan yang terjadi dalam kurun dua dekade belakangan ini. PBB dan semua Badan yang berkaitan dengannya, setidak-tidaknya dalam kurun waktu tiga dekade setelah Perang Dunia Kedua, berusaha untuk menghindari pertentangan ekonomi antara kekuatan-kekuatan imperialis besar dengan negara-negara jajahan serta semi-jajahan. Bantuan pembangunan diberikan dan rezim burjuis nasionalis ditegakkan.

Pada saat ini, hal di atas, telah menghasilkan penaklukkan total dari setiap perekonomian nasional kepada kehendak kapital Barat, yang diterapkan oleh International Monetary Fund (IMF). Seperti pernyataan Clare Short, international development secretary dari Inggris, dengan tegas menyatakan, “Saya tidak mengirim seorang menteri karena saya tidak mengharapkan adanya suatu KTT yang tepat-guna.” FAO merupakan “suatu organisasi PBB kuno dan sangat butuh diperbarui,” ia menambahkan. “FAO harus memperbarui sikapnya.”

Pernyataannya sangat jelas: sudah tidak boleh lagi ada bantuan “kuno” seperti di masa lampau. Pantulan suara agar adanya “reformasi” pada birokrasi PBB telah dilantunkan baik oleh pemerintahan Republik ataupun Demokrat di Washington. Sebagian besar dari kekuatan imperialis, yang senantiasa merupakan penentu di kantor-pusat PBB, kini telah mempertegas bahwa tidak ada apa pun yang dapat mengganggu-gugat kepentingan profit kapitalis global.

Bila pimpinan dunia tidak hadir pada KTT Pangan 2002, ini karena kepentingan mereka adalah mempertahankan keuntungan usaha, dan bukan melawan kelaparan. Pada kasus Amerika Serikat, administrasi Bush memperoleh cara untuk menggunakan pembicaraan akan kelaparan untuk memajukan kepentingan para pengusaha besar Amerika Serikat. Menteri Pertanian Ann Veneman, pimpinan delegasi Amerika Serikat, datang dengan satu hal yang pasti di benaknya—mendapat persetujuan untuk tanaman pangan yang telah diobah secara genetis. KTT FAO ini mendukung riset dalam tanaman pangan tersebut, yang memberikan kemenangan mutlak kepada para perusahaan raksasa bioteknologi Amerika Serikat.

Pangkal dasar dari sebab kelaparan di dunia bukanlah tidak adanya persedian pangan. Kekurangan pangan terjadi bersamaan dengan berlimpahnya bahan pangan di bawah kapitalisme. Hal ini berlaku baik untuk Amerika Serikat maupun negara-negara termiskin di dunia. Amerika Serikat menghasilkan 40 persen lebih pangan dari pada kebutuhannya, akan tetapi kelaparan sangat meluas dan 26 juta penduduk Amerika Serikat tergantung pada bantuan kupon pangan dari pemerintahnya. India telah mencapai surplus gandum sebanyak 59 juta ton, namun lebih dari setengah anak-anak di India berhidup kekurangan pangan.

Loading