Bahasa Indonesia

"Kemerdekaan" Timor Timur: ilusi dan kenyataan

Beberapa saat setelah tengah malam 20 Mei, kawasan kecil Timor Timur akan diumumkan sebagai negara merdeka pertama di abad ke 21. Di tengah perayaaan resmi di Ibu kota Dili, Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan akan secara resmi mengalihkan kekuasaan kepada Xanana Gusmao, Presiden yang terpilih, dan akan mengumumkan kemerdekaan 800,000 penduduknya.

Menurut situs web“Acara Hari Kemerdekaan” Administrasi Publik Timor Timur, “Timor Leste akan menjadi negara pertama dalam milenia baru dan negara demokrasi terbaru di dunia. Setelah 500 tahun penjajahan dan 25 tahun perjuangan bersenjata, penduduk Timor akan pada akhirnya merangkul kebebasan yang telah mereka perjuangkan begitu sukar dan lama.”

Kepalsuan total pernyataan-pernyataan ini dipertegas dalam perayaan itu sendiri. Hanya untuk menyelenggarakan perayaan, penyelenggara harus mengemis untuk dukungan pendanaan sponsor para perusahaan-perusahaan besar. “Para sponsor dapat mennyeponsori suatu acara tertentu pada perayaan ini. Bila dikehendaki dapat pula dengan mudah menyeponsori suatu jumlah dana,” situs mereka menyatakan. Tergantung dari besarnya sumbangan, para sponsor dapat memperoleh hak pemberian nama pada acara, termasuk festival utama kebudayaan.

Keuntungan lain untuk para sponsor termasuk pencantuman nama dan logo di TV dan siaran radio, umbul-umbul jalanan, kaos peringatan dan semua cendera-mata Hari Kemerdekaan. Bahkan prasasti memperingati “Pahlawan-Pahlawan Perjuangan” yang diusulkan di dalam Legacy National Park akan mencantumkan nama para sponsor. Pengusaha kecil dan pribadi-pribadi dianjurkan untuk menyumbang. “Tentu, kami membutuhkan para perusahaan besar,” situs menyatakan, namun “kami merancang penyeponsoran ini agar semua dapat turut-serta.”

Penyumbang-penyumbang terbesar adalah para perusahaan minyak dan gas yang akan memperoleh keuntungan dalam milyaran dollar dari cadangan alam besar di bawah Laut Timor, yang terletak di antara Timor dan Australia: Phillips Petroleum, Shell, Osaka Gas dan Woodside Energy. Jadi, itu adalah kenyataan bahwa deklarasi “kemerdekaan” tergantung pada kebaikan para konglomerat minyak dan gas.

Walaupun PBB menyatakan akan hadirnya 80 negara, hanya empat kepala negara memastikan kehadirannya. Keempatnya merupakan mereka yang sangat berkepentingan ekonomis dan strategis di Timor Timur. Portugal, penguasa penjajahan lama, akan mengirimkan presiden dan perdana menteri mereka. Setelah perayaan-perayaan itu selesai, delegasi mereka akan membahas urusan mereka yang sebenarnya, yaitu mengadakan suatu pertemuan tingkat tinggi dari negara-negara berbahasa Portuguese (CPLP), suatu asosiasi dari bekas negara-negara jajahannya, untuk memperkuat kehadiran dagang dan diplomasinya.

Australia, saingan utama Portugal di Timor Timur dan kekuatan utama di daerah tersebut, akan mengirim Perdana Menteri John Howard. Seminggu sebelum upacara perayaan, pemerintahan Howard menerbangkan Perdana Menteri-terpilih Timor Timur Mari Alkatiri ke-Canberra dengan pesawat terbang VIP. Di sana, Alkatiri bertemu dengan Menteri Keuangan Peter Costello, Menteri Luar Negeri Alexander Downer dan Menteri Pertahanan Robert Hill, yang berusaha menekannya untuk mengikat negara kecil ini dalam suatu perjanjian yang memberi Australia sebagian besar dari Lapangan Greater Sunrise, salah satu cadangan minyak dan gas terbesar yang telah terbukti di Laut Timor. Walaupun tidak berhasil memperoleh persetujuan mutlak dalam tahap ini, pemerintah Australia bersikeras untuk setidaknya suatu perjanjian ditanda-tangani pada 20 Mei sebagai tindakan pertama “kemerdekaan” dari negara baru ini.

Selandia Baru, yang memainkan suatu peranan penting dalam penguasaan militer yang dipimpin Australia di Timor Timur pada akhir 1999 dan memiliki kepentingan keuangan yang besar, akan mengirimkan Perdana Menteri Helen Clarke. Akan tetapi tamu kehormatan adalah Presiden Indonesia Megawati Sukarnoputri. Gusmao telah terbang ke-Jakarta dua minggu sebelumnya untuk memohon kehadiran Megawati. Dia hanya menyatakan keputusannya pada saat terakhir, di hadapan pertentangan keras dari berbagai lapisan kekuasaan militer Indonesia, yang masih belum dapat melepaskan tuntutan Indonesia akan daerah tersebut. Megawati hanya akan berkunjung selama empat jam, tetapi bersikukuh untuk dikawal oleh pengawal pribadi militernya dan sebuah kapal angkatan laut, yang akan bersandar di pelabuhan Dili. Pada hari Sabtu, sebagai suatu peringatan tegas kepada pemerintahan baru Timor Timur, lima kapal perang angkatan laut Indonesia dapat terlihat mengapung di horison, terlihat dari tempat acara Hari Kemerdekaan.

Amerika Serikat, pendukung utama bersama dengan Australia, akan penyerbuan Indonesia ke Timor Timur di tahun 1975 dan pendukung militer Indonesia di bawah bekas diktator Suharto, akan mengirim bekas presiden Bill Clinton.

Keseluruhan acara mewujudkan hubungan yang akan mendominasi keberadaan negara kecil ini: tunduk kepada berbagai kekuatan global dan regional, para perusahaan minyak dunia dan lembaga keuangan international - Bank Dunia dan IMF. Timor Timur memulai hidup sebagai negara yang termiskin di Asia, dan salah satu yang termiskin di dunia, tidak dapat mengusahakan kebutuhan pokoknya sendiri, sarana dasar dan fasilitas umum tanpa senantiasa memohon bantuan dan hibah asing. Dari Anggaran tahun pertama $100 juta, sangat tidak memadai untuk memenuhi kebutuhan kesehatan, pendidikan, perumahan dan kebutuhan kritis lainnya, hanya sepertiga dapat dipenuhi dari penghasilan pendapatan dalam negeri.

Pemerintah Timor Timur hanya dapat berfungsi jika ia menjalin kerjasama yang baik dengan para sponsor perusahaan dan institusinya. Pada tanggal 12 Maret, sebagai contoh, kepala administrasi PBB Sergio Viera de Mello memberitahu Dewan Menteri Timor Timur bahwa setelah tanggal 20 Mei, PBB tidak akan lagi memberi bantuan hukum dan perundangan, akses Internet, telekomunikasi, fotokopi dan pemeliharaan kendaraan. Para penerjemah international akan berhenti memberikan penerjemahan langsung di Parlemen dan jasa TV dan radio akan ditutup, bila dana tidak dipinjam dari sumber lain.

Kini sudah lebih dari dua-setengah-tahun yang lalu, pada 30 Agustus 1999, rakyat Timor Timur memilih secara aklamasi untuk lepas dari Indonesia, menentang kekerasan dan intimidasi dari militer Indonesia dan para komandan milisi. Langsung setelah pemilihan, ribuan rakyat jelata dibunuh dalam kebengisan milisi, ratusan ribu dipaksa ke Timor Barat Indonesia dan sebagian besar sarana, termasuk perumahan, sekolah, rumah sakit dan jasa pelayanan umum dihancurkan.

Para pemerintah yang berpesta pada perayaan di Dili, pada analisa akhirnya, bertanggung jawab akan tragedi ini. Berabad-abad, mereka telah menggunakan rakyat Timor Timur sebagai pion dalam percaturan ekonomi dan strategisnya. Dan kini, negara baru sengsara ini, bukannya merupakan hasil dari sebuah pergerakan massa melawan penindasan dan intrik imperialis, bahkan sangat amat tergantung untuk kehidupannya pada kekuatan imperialis yang sama.

Catatan penindasan imperialis

Sampai dengan 1974, pada saat diktator fasis Salazar-Caetano jatuh di Lisbon, Portugal menikmati kekuasaan kolonial tanpa tandingan atas Timor Timur, yang tetap berada sebagai salah satu daerah termelarat di dunia. Setelah mengalami kekalahan mutlak di Vietnam pada tahun 1975, pemerintahan Amerika Serikat dan Australia kuatir bahwa pergerakan kemerdekaan yang sedang berkembang di Timor Timur, yang dipimpin oleh Fretilin, dapat mengakibatkan pergolakan di kepulauan Indonesia. Junta Suharto didorong secara aktif untuk mencaplok setengah-pulau tersebut pada Desember 1975. Selama dua puluh tahun berikutnya, berbagai pemerintahan Australia dan Amerika Serikat secara tegas mendukung penindasan berdarah Indonesia akan perlawanan rakyat Timor Timur, dengan korban 200,000 nyawa.

Rezim Suharto, yang dipasang dalam suatu kudeta yang didukung oleh Amerika Serikat dan Australia melawan rakyat Indonesia pada tahun 1965-1966, yang menyaksikan pembantaian sampai dengan satu juta pekerja dan petani, dipandang sebagai dasar dari kepentingan strategis dan bisnis Dunia Barat di Asia Tenggara.

Pada tahun 1978, setelah adanya kepastian akan adanya cadangan besar minyak dan gas di dasar Laut Timor, pemerintah Australia merupakan negara pertama di dunia yang secara resmi mengakui pencaplokan Timor Timur oleh Indonesia. Sebagai timbal baliknya, Indonesia memulai perundingan dengan Australia akan kepemilikan dan penguasaan akan cadangan di bawah Laut Timor. Pembicaraan berpuncak pada penanda tanganan Timor Gap Treaty 1989 oleh pemerintahan Partai Buruh Hawke dengan suatu acara sulung minuman champagne di atas pesawat jet VIP angkatan udara Australia. Perjanjian ini memberi bagian terbesar cadangan bawah laut untuk Australia.

Pergeseran ekonomis dan politis mulai menggoyahkan perhitungan Canberra. Penemuan cadangan besar minyak dan gas telah menghidupkan kembali kepentingan Portugal pada bekas jajahannya. Dengan hak wilayah atas Timor Timur masih diakui oleh PBB, Lisbon menentang persetujuan Indonesia-Australia di Pengadilan Dunia. Di tahun 1995, para hakim menyatakan bahwa Portugal memiliki hak tuntutan resmi berdasarkan UN Charter, walau pengadilan tidak sampai mengeluarkan keputusan, karena Indonesia tidak mau menerima jurisdiksinya.

Pada pertengahan 1990, sikap Washington terhadap pemerintah Indonesia mengalami suatu perobahan. Rezim korup dan nepotis Suharto, walau masih dianggap sebagai polisi regional, merupakan penghalang akan pembukaan penuh kekayaan sumber daya alam Indonesia terhadap kapital global. Di tahun 1997 Amerika Serikat, bertindak melalui IMF dan Bank Dunia, memanfaatkan krisis moneter Asia untuk menggulingkan diktator militer itu. Portugal melihat celah kesempatan itu dan meluncurkan penyerangan diplomatik, memenangkan dukungan Uni Eropa dan pengangkatan Utusan PBB ke-Timor Timur.

Pada saat yang sama, penguasa Portugis mulai merayu Gusmao, Horta, Alkatiri dan segenap pimpinan Timor Timur. Pada bulan April 1998, selagi protes anti-Suharto meningkat di Indonesia, National Council of Timorese Resistance (CNRT) dibentuk dalam sebuah kongres dekat Lisbon. Pimpinan CNRT melihat dalam bergolakan para pekerja dan mahasiswa melawan Suharto, bukanlah sebuah kemungkinan sekutu kuat melawan penindasan Indonesia, tetapi sebuah kesempatan untuk menampilkan diri mereka terhadap calon-investor sebagai pengawal akan suatu “lingkungan yang lebih aman dan terkendali.”

Perspektif CNRT akan “hak-penentuan” untuk Timor Timur tidak ada hubungannya dengan perjuangan melawan imperialis dan membela kepentingan rakyat Timor Timur.

Sebaliknya, tujuannya adalah untuk memenangkan dukungan dari salah satu kekuatan kapitalis -Portugal atau Australia- untuk pembentukan suatu daerah tersendiri di mana para elite setempat dapat berfungsi sebagai mitra lokal. Untuk hal ini, CNRT menjanjikan akan memberi dua keuntungan: stabilitas -yaitu, penindasan perlawanan dari rakyat Timor Timur- dan keuntungan, berdasarkan eksplorasi sumber daya alam, terutama minyak bumi.

Canberra menjawab inisiatip Portugal dengan mencoba memperkuat hubungan yang dekat dan menguntungkannya dengan pemerintahan Indonesia. Howard menulis surat kepada penerus Suharto, B.J. Habibie, pada akhir 1998, mengusulkan kepadanya bahwa cara yang terbaik adalah memberi Timor Timur otonomi terbatas untuk jangka waktu panjang sebagai cara untuk mempertahankan kedaulatan Indonesia.

Pada tahun 1999, dengan pemerintahannya mengucurkan darah secara keuangan dan adanya ancaman dengan pergerakan terus-menerus oleh kaum mahasiswa dan pekerja, Habibie mengeluarkan ultimatum terhadap Timor Timur: terima otonomi dalam Indonesia melalui suatu bentuk “konsultasi umum” yang akan diselenggarakan dalam beberapa bulan, atau hadapi segera suatu “bumi hangus” penarikan oleh Indonesia, halmana akan memusnahkan segenap keuangan, jasa-jasa dan sarana.

Usulan Habibie selaras dengan agenda Portugal. Melalui perantaraan PBB dan tanpa konsultasi apa pun juga dengan rakyat Timor Timur, Portugal menegosiasikan suatu perjanjian dengan Indonesia, tertanggal 5 Mei, bahwa suatu referendum akan diselenggarakan, di bawah pengawasan PBB, tetapi dilaksanakan di bawah penguasaan militer Indonesia. Pimpinan CNRT, yang mengetahui bahwa para milisi yang didukung oleh militer Indonesia akan mengamuk bila pilihan jatuh untuk perlepasan diri dari Indonesia, pada awalnya menentang pengadaan pemilihan itu. Tetapi mereka kemudian setuju, memperhitungkan bahwa pelepasan kekerasan akan memaksa PBB dan kekuatan Barat berperan serta dan mengangkat CNRT sebagai pemerintahan resmi.

Berada di luar intrik PBB, pemerintah Australia mengentaskan rencana-rencana untuk mematahkan Portugal, lawan utamanya. Selagi mempertahankan pilihan lamanya akan kedaulatan Indonesia terhadap Timor Timur, pemerintah Howard menyiapkan opsi dua -penyiapan kekuatan penyerang, mobilisasi militer Australia terbesar semenjak perang Vietnam, untuk mempertahankan kepentingan Australia. Melalui penyadapan intel, Howard dan para menteri utamanya sangat amat mengetahui rencana kabinet Indonesia dan pimpinan puncak militernya. Pemerintahan Howard memperhitungkan bahwa kekerasan para milisi akan memberikan alasan kemanusiaan yang diperlukan untuk meluncurkan operasi militer di bawah pimpinan Australia.

Pada saat pasukan Australia mendarat di Dili pada pertengahan September 1999, dengan alasan utama “mengamankan” rakyat Timor Timur, pembantaian telah selesai. Akan tetapi dengan memimpin pasukan INTERFET dari PBB, pemerintah Howard menempatkan dirinya pada kedudukan utama dengan hak penentu pada administrasi pemerintahan yang akan di bentuk oleh PBB.

Oposisi dikekang

Selagi hal-hal berdarah ini terjadi, pimpinan Timor Timur berusaha untuk mencegah adanya perlawanan rakyat yang meluas. Sebelum dan setelah pemilihan oleh PBB, mereka menentangan protes dan demonstrasi. Gusmao memerintahkan guerilla Fretilinnya untuk tidak membalas melawan kebengisan milisi Indonesia, mempersilahkan pembantaian itu terlaksana. Pada tanggal 4 September 1999, lima hari setelah referendum, suatu pernyataan CNRT mempertegas agar tidak ada tindakan yang diambil yang “dapat dianggap sebagai awal dari suatu perang saudara”. Kepentingan utama mereka adalah tidak melakukan apapun yang dapat mengkompromikan dukungan Barat.

Ini tetap merupakan sikap mereka selagi PBB mempersiapkan Transitional Administration for East Timor (UNTAET). Dari awalnya, pimpinan Timor Timur telah memastikan untuk menghindari partisipasi demokratis yang nyata.

Tanpa suatu pemilihan ataupun konsultasi umum, UNTAET telah diberi kekuasaan sebagai penguasa kolonial. Didukung oleh Horta dan Gusmao, Sergio Viera de Mello, administrator PBB ini, memiliki kekuasaan mutlak, menunjuk para menteri yang terdiri dari pegawai PBB dan politisi local yang dipilih secara hati-hati. Gusmao, yang bekerjasama erat dengan de Mello, diperlakukan sebagai presiden-dalam-penungguan, selagi Fretilin, bekas pergerakan gerilya itu, menjelma sebagai partai pemerintahan nyata.

Dengan alasan mencegah timbulnya kegiatan para milisi, pimpinan Timor Timur memohon perpanjangan kekuasaan PBB, sangat tujuan mempertahankan ribuan pasukan dan polisi PBB untuk penegakan kekuasaan.

Baru pada bulan Agustus kemarin, dua tahun setelah referendum pemisahan, pemilihan dilaksanakan untuk memilih anggota Constituent Assembly, dan hal ini diselenggarakan di bawah pengawasan yang ketat. Atas kehendak Gusmao, para partai terdaftar wajib menanda tangani Pakta Persatuan Nasional, berjanji tidak akan saling mencemoh, akan membentuk suatu administrasi nasional bersatu dan akan mendukungnya sebagai presiden terpilih. Sepanjang pendapat media dan PBB, kemenangan Fretilin sudah merupakan keputusan yang mutlak dan pasti.

Walau dengan adanya tekanan keras, pemilihan menunjukan adanya ketidak puasan dan penentangan dari rakyat biasa Timor Timur terhadap rezim PBB dan para kolaboratornya.

Sebaliknya dari perkiraan kemenangan yang mutlaknya, Fretilin hanya memperoleh 57 persen dari suara pemilihan.

Hampir bersamaan, pimpinan Fretilin meniadakan kemungkinan pemilihan lanjut dalam kurun waktu setidaknya lima tahun ke depan. Dengan pembentukan kualisi dengan partai-partai yang lain, Fretilin memperoleh dua-pertiga mayoritas di Assembly, memungkinkan mereka menulis konstitusi negara. Pimpinan mereka lalu menyatakan bahwa tidak akan ada referendum untuk penentuan konstitusi, meniadakan hak rakyat untuk memilih setuju atau tidak dengan konstitusi tersebut. Menyusul hal ini, Fretilin mengumumkan bahwa Assembly akan dengan sendirinya menjadi parlemen pertama negara ini, meniadakan kepentingan untuk sebuah pemilihan umum sampai dengan tahun 2007.

Satu-satunya pemilihan yang dilakukan menjelang 20 May -pemilihan presiden- merupakan sebuah lelucon besar. Tidak hanya PBB, beserta seluruh media di dunia, menyatakan Gusmao adalah pemenangnya jauh sebelumnya. Veteran bekas presiden Xavier do Amaral dipaksa untuk turut serta sebagai calon kandidat hanya untuk memberikan kesan bahwa pemilihan itu adalah demokratis.

Konstitusi itu sendiri menyatakan beberapa kebebasan berpolitik dan hak pribadi. Akan tetapi ia juga mempertegas kekuasaan penguasa, memberi kekuasaan presidential untuk memveto perundangan, membubarkan pemerintahan, membubarkan parlemen, menyatakan keadaan darurat dan memimpin angkatan bersenjata. Pemilihan anggota parlemen dan presiden dilakukan hanya sekali dalam kurun waktu lima tahun. Tidak dibutuhkan referendum untuk mengubah konstitusi; konstitusi dapat diubah kapan saja dengan adanya persetujuan dua-pertiga di parlemen. Konstitusi itu juga menjamin kepentingan para elite kapitalis yang baru timbul dan modal asing. Konstitusi mengamankan kepemilikan pribadi akan sarana produksi, menjujung tinggi “inisiatip bebas dan manajemen usaha” dan menjamin bahwa negara akan “menciptakan kondisi untuk mengundang investasi asing”.

Mandat kekuasaan PBB akan berkelanjutan, walau dalam bentuk lain, jauh setelah penyerahan kedaulatan pada 20 Mei. Sampai dengan 6,500 pasukan PBB, komandan polisi, perwira keadilan dan administrator akan tetap berada sampai dengan Mei 2004, dengan kemungkinan perpanjangan waktu tidak terbatas. Karyawan UN Mission of Support in East Timor (UNMISET) akan tetap menduduki posisi kuncinya, dan juga melatih dan mengawasi pasukan militer dan polisi yang baru terbentuk.

Untuk semua penampilan umum dan nyata, Timor Timur akan tetap menjadi suatu daerah jajahan semi-kolonial.

Kemiskinan, ketidakadilan dan keresahan

PBB dan penguasa Timor Timur takut dengan keresahan rakyat yang meluas- dan untuk alasan yang benar. Suatu laporan UN Human Development Program, terbit pada tanggal 13 Mei, menyatakan bahwa PDB pertahun Timor Timur hanyalah $478 menjadikannya sebagai salah satu dari 20 negara termiskin di dunia - di samping Rwanda dan Angola. Lebih dari 40 persen dari penduduknya hidup di bawah garis kemiskinan 55 sen per hari, lebih dari setengah penduduknya buta-huruf dan lebih dari 50 persen anak-anak kurang gizi.

Laporan lain menyatakan bahwa umur rata-rata adalah 56 tahun, kekurangan gisi meluas, dan penyakit seperti malaria, demam berdarah dan TBC sangat umum. Dua kali lebih banyak wanita meninggal pada saat melahirkan di Timor Timur dibandingkan dengan di Asia Tenggara ataupun di Pasifik Barat. Kurang dari seperempat wanita Timor Timur dapat menjangkau fasilitas kesehatan ataupun bidan beranak. Negara ini tidak memiliki industri apapun juga. Sampai dengan 90 persen penduduknya hidup dari alam, sebagian besar petani penggarap. Ketunawismaan dan pengangguran di daerah perkotaan sangat tinggi dan akan meningkat dengan penurunan aktifitas ekonomi yang telah naik secara semu akibat kehadiran orang-orang PBB.

Suatu pemberitaan dari Lusa, kantor berita Portugal, baru-baru ini menyatakan: “Ibu Kota mencerminkan suatu kota bertentangan di mana kemelaratan dan kekayaan berdampingan. Timor Timur akan menjadi negara termiskin di Asia pada saat kemerdekaan tetapi makanan sederhana di restoran di Dili harganya lebih dari $13 dan secangkir kopi lebih dari $1. Sebagian besar masyarakat hidup dengan tidak lebih dari 50 sen per hari, kota ini masih memiliki selokan pembuangan yang terbuka, tidak ada penerangan jalanan dan sangat banyak rumah yang hancur.” Di luar Dili, keadaannya lebih buruk. Australian Financial Review melaporkan: “Apa yang sangat tidak mungkin akan dilihat oleh kedatangan para tamu akhir pekan ini adalah kemiskinan mutlak di daerah perdalaman Timor Timur di mana kehidupan adalah sejelek daerah-daerah melarat di Afrika.”

Gusmao menghimbau rakyat Timor Timur untuk “bersabar” dalam pengharapan mereka, menyatakan bahwa bila tingkat kehidupan masyarakat meningkat dalam kurun waktu 15 tahun, ini merupakan suatu prestasi. Namun sudah ada gejala-gejala ketidak-puasan dan penentangan politik, terutama di kalangan pemuda dan mahasiswa. Dalam tempo dua setengah tahun terakhir ini nampak demonstrasi dari para pengangguran, mogok kerja karena gaji rendah, demonstrasi menentang PBB dan pelemparan batu terhadap pasukan asing. Mempertajamnya penentangan publik terhadap kehendak Gusmao untuk “rekonsiliasi” dengan militer Indonesia serta kaum milisi dan adanya gelombang ketidak-puasan terhadap sikap kekuasaan otoriter dan anti demokrasi oleh Fretilin. Partai oposisi memprotes peniadaan pemilihan untuk penentuan konstitusi dan anggota parlemen.

Acara perayaan 20 Mei itu pun diselenggarakan dalam keadaan pengawasan ketat. Baik PBB ataupun penguasa Timor Timur mengeluarkan pernyataan menentang demonstrasi tanpa izin dan gerombolan bersenjata. Marito Reis, penguasa local diwawancarai di Bacau oleh International Herald Tribune, mencerminkan kegelisahan publik. “Setelah 24 tahun perjuangan, ini adalah hadiah kami. Tetapi saya bertanya pada diri saya dan para pemimpin apakah isi dari kemerdekaan in ?”

Pimpinan Timor Timur memegang keyakinan bahwa, setelah bertahun-tahun hidup prihatin, minyak dan gas dari Laut Timor, bersamaan dengan ekspor kopi dan pariwisata, akan merupakan landasan dari standar kehidupan yang lebih tinggi. Agar supaya dapat mengundang modal asing, penggajian tenaga kerja lokal ditetapkan sekisar $3 per hari. Akan tetapi investasi besar tetap juga belum berdatangan dan harga kopi di dunia merosot tajam. IMF memperkirakan penciutan 0.5 persen dari PDB Timor Timur untuk tahun ini, disertai dengan “kejutan” ekonomi dari hilangnya pekerjaan-pekerjaan yang bersangkutan dengan kehadiran PBB.

Kekayaan yang didambakan dari minyak dan gas akan terbukti sebagai fatamorgana. Pemerintahan Howard berkehendak untuk mempertahankan semua penghasilan dari Greater Sunrise Field, begitu juga dengan mengalurkan lewat pipa semua gas dari proyek raksasa Bayu-Undan ke Darwin, kota di Australia Utara. Dalam hal apapun juga, keuntungan yang ditimbulkan dari Laut Timor akan mengalir secara keseluruhan kepada perusahaan minyak global, dengan hanya tetesan-tetesan kecil royalty untuk pemerintahan di Dili.

Penyandang dana asing mengkuncurkan sampai dengan $300 juta untuk Timor Timur tahun lalu, akan tetapi sebagian besar dari jumlah ini digunakan untuk pengamanan kepentingan ekonomi dan strategis mereka. Dari $3.9 milyard yang telah digunakan oleh pemerintahan Howard atau dicadangkan untuk Timor Timur antara September 1999 sampai dengan Juni 2004, diperkirakan lebih dari 90 persen untuk kepentingan militer Australia.

Pada awal abad ke 21 ini, Timor Timur mencerminkan suatu contoh tragis lagi dari jalan-buntu nasionalisme dan mitos dari “kemerdekaan bangsa”. Dalam negara baru ini, rakyat Timor Timur akan menghadapi hanya kemiskinan dan peningkatan penindasan. “Kemerdekaan” sama dengan mengundang para investor multinasional, pendirian kawasan perdagangan bebas dan memenuhi kehendak IMF dan Bank Dunia.

Begitu ilusi-ilusi menghilang dan kenyataan dari keberadaan Timor Timur terwujud, ketegangan sosial dan antagonisme antara kelas akan dengan cepat mendalam. Dari kesengsaraan kenyataan ini lapisan masyarakat yang lebih mengritis akan segera timbul, mendasarkan diri mereka pada pengertian bahwa kebebasan mutlak dari penindasan ekonomi dan politik hanya dapat dicapai melalui pertumbuhan dari perjuangan bersatu oleh kaum pekerja dan rakyat melarat di Timor Timur, Indonesia dan seluruh kawasan ini melawan jaringan kapitalis global.

Loading